Oleh Amril Taufik Gobel
Kesenian tradisional kuda lumping merupakan atraksi khas Jawa yang memiliki daya tarik dan keunikan tersendiri. Saat melewatkan masa kecil di Bone-bone 30 tahun silam saya kerap kali menyaksikan kuda lumping dipertontonkan di tempat yang juga merupakan daerah transmigrasi ini. Saya masih ingat betul, bila hari-hari besar nasional tiba, maka beragam atraksi tradisional dipertontonkan untuk memeriahkannya — salah satunya adalah kuda lumping.
Kuda lumping (dikenal juga dengan nama jaran kepang atau jathilan) adalah tarian dengan memakai anyaman bambu yang "dirakit" sedemikian rupa hingga menyerupai bentuk kuda. Adegan yang ditampilkan biasanya berbentuk prajurit berkuda, yang dalam beberapa penampilan biasanya menyuguhkan atraksi kesurupan yang mistis. Kadang-kadang ada pagelaran aksi kekebalan tubuh, seperti memakan beling, mengupas sabut kelapa dengan gigi, hingga menerima sabetan pecut di badan.
Tak jelas betul dari mana asal usul kesenian tradisional ini. Namun sebuah riwayat menyatakan, kuda lumping merupakan representasi imajinasi latihan perang pasukan berkuda Mataram pimpinan Sultan Hamengkubuwono I dalam menghadapi pasukan Belanda.
Ada pula yang menyatakan ini adalah bentuk dukungan rakyat jelata terhadap pasukan Pangeran Diponegoro dalam mengusir penjajah. Terlepas dari kebenaran sejarah hadirnya kesenian tradisional ini, seiring perkembangan zaman, atraksi kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan patriotisme pasukan kavaleri menumpas lawan dengan gigih serta tangguh.
Saya mengenang betapa atraksi ini benar-benar membuat saya terpukau. Sebelum atraksi dimulai "pemimpin supranatural" atraksi kuda lumping melakukan ritual magis di tengah lapangan pertunjukan. Ketika sang penari kuda lumping kesurupan, ia berkeliling dan berjingkrak-jingkrak dengan suara gemerincing di kakinya sembari melakukan gerakan-gerakan seperti bergulingan di tanah.
Suara perangkat gamelan (terdiri dari kendang, kenong, gong dan slompret) yang berpadu bersama suara pecut semakin memeriahkan suasana dan itu membuat sang penunggang kuda lumping kian bersemangat. Ada riwayat yang menyatakan, suara pecut atau sabetan justru akan memberikan sugesti pada sang penari kuda lumping untuk semakin bersemangat dan liar menyajikan atraksinya.
Saya sempat tersentak kaget dan agak ngeri ketika penari kuda lumping dengan santai mengunyah bola lampu pijar layaknya seperti sedang memakan gorengan. Atau ketika ia mengupas sabut kelapa dengan giginya tanpa khawatir giginya akan rontok semua. Di akhir acara biasanya disajikan atraksi semburan api yang keluar dari mulut sang penari sampai kemudian sang "pemimpin supranural" melakukan pemulihan kesadaran kembali pada sang penari.
Kesenian ini memang tak bisa dimainkan oleh sembarang orang. Namun aksi monumental yang ada di atraksi ini dikenal cukup memberi kesan mendalam bagi penontonnya.
Sumber: www.yahoo.com